Wednesday, January 26, 2011

DEWASA.

“Galiiihhh jangaaann !!!” teriakan mamanya ketika ia bermain-main korek api.

“Itu berbahaya. Kamu masih kecil.” tambah mamanya mengambil korek api dari tangannya.

“Ma, aku sudah kelas 4..!” sergahnya. Tapi mamanya berlalu begitu saja.

Bisa jadi mamanya benar. Ia memang masih kecil. Namun ia satu-satunya lelaki di rumah yang dihuni bersama mama dan adiknya. Anak itu ingin lebih cepat dewasa.

Impiannya tersebut mungkin masih tertahan berbagai larangan dan perintah mamanya. Dilarang nonton tv hingga larut. Harus gosok gigi sebelum tidur. Dilarang ini. Dilarang itu. Harus ini. Harus itu.

Di sisi lain, ia pun memang belum benar-benar bisa mandiri. Ia masih sering ditemani mamanya jika melakukan aktifitas.

“Ayo, kamu potong rambut sendiri sana! Rambut kamu sudah panjang. Kali ini mama nggak bisa antar. Belum masak.” perintah mamanya sembari memberinya uang.

Galih sedikit enggan dengan perintah mamanya kali ini. Ia belum pernah pergi sendirian ke tukang cukur. Namun karena tidak ingin membuat mamanya marah, akhirnya ia melangkahkan kaki juga.

Tukang cukur langsung menyambutnya saat ia mengutarakan maksud. Tak sesulit yang ia dibayangkan. Galih pun tinggal menunjuk gambar berbagai pilihan bentuk potongan rambut yang diinginkan. Ia baru saja memahami alasan tukang cukur itu memasang gambar model potongan rambut.

Sejajar dengan gambar model itu, tampak tulisan ‘Harga Potong Rambut. Dewasa 20.000, Anak-anak 15.000’. Di sakunya sudah terselip uang pemberian ibunya. Proses potong rambut pun tak lama. Ia sudah rapi kini. Tukang cukur memberikan bon lalu Galih membayarnya.

“Ah..!” anak itu berseri-seri sepanjang jalan mengingat apa yang telah dilakukannya. Ia pun girang memandang bon pemberian tukang cukur. Harapannya terkabul.

Bon tersebut tertulis: 1 Dewasa Rp 20.000,-

Sunday, August 5, 2007

Transportasi Om Arif.

Seperti biasa, Om Arif memeriksa seluruh bawaannya sebelum berangkat pergi. Hari itu ia akan ke puskesmas, mengajar di beberapa tempat, dan belanja. Aktifitasnya sebagai seorang guru musik membuatnya harus pergi ke berbagai tempat berbeda dalam sehari. Setelah dirasa tidak ada satupun yang ketinggalan, ia menjalankan mobilnya dengan mantap.

Tempat pertama yang dikunjunginya adalah Puskesmas Tebet yang cukup modern dan lengkap untuk kontrol kesehatan. Perjalanan berikutnya yang harus ditempuh memang cukup jauh, tapi ia harus memenuhi jadwal mengajarnya di sebuah sekolah musik di Cinere. Di tengah lamunannya, tiba-tiba muncul bis yang sejalan dengan tujuannya. Dengan sigap, Om Arif menaiki bis tersebut. Ia merasa lega, karena tidak perlu menunggu terlalu lama. Ia berganti angkutan umum beberapa kali agar bisa sampai di tempatnya mengajar.

Selepas pelajaran di sekolah musik, telah menunggu jadwal mengajar privat di rumah seorang muridnya. Om Arif bergegas mencari angkot menuju rumah muridnya. Sebuah komplek perumahan yang memerlukan perjalanan kaki beberapa menit dari tempat berhentinya angkot.

Dan pastinya memerlukan beberapa kali perpindahan angkutan umum dan jalan kaki agar ia dapat kembali pulang ke kawasan Tebet. Om Arip masih menyempatkan diri berjalan kaki lagi beberapa kilometer ke supermarket sebelum ia pulang ke rusun yang juga dengan berjalan kaki.

“Ooohh…! Leganya sampai di rumah.. ” seru Om Arip setelah bertualang seharian. Sore itu ia bersantai melepas lelah yang menimbunnya seharian. Malam harinya ketika tengah asyik menikmati acara televisi, tiba-tiba ia terbangun dan berteriak, “Mobil guaaa….!!! Ketinggalan di puskesmas….!!!”

Sunday, July 29, 2007

Kevin & Pian

Anak kecil memang bisa mengungkapkan pikirannya dengan lebih jujur. Tapi kejujuran bisa jadi terasa pahit bagi yang mengungkapkannya. Kevin, seorang anak yang tinggal di rusun kami, tiba-tiba menjadi ketakutan setiap kali melihat Pian, karyawan sebuah talent agency yang berkantor di rusun.

Pian memang terlihat berbeda dari lelaki pada umumnya. Rambutnya selalu dicat berwarna-warni, jalannya sangat gemulai, bicaranya pun mendayu-dayu. Sebagai laki-laki, Pian tampil cukup feminin. Namun Kevin mungkin tidak menduga jika Pian akan bertindak cukup lelaki kepadanya.

Suatu ketika, Kevin tengah berjalan melintas di depan kantor Pian. Tampak Pian tengah merapikan penampilannya. Melihat pria feminin tersebut, Kevin pun tidak tahan untuk berkomentar.
"Cewek..!"
"Eh, cowok..!"
"Eh, cewok..!"

Detik berikutnya, yang terdengar hanyalah suara,
"Plaakk!"

Ups !

Suatu ketika Derryl mendapat job di 25 Frames, sebuah Production House (PH) di Jakarta Selatan. Sebagai Assistant Casting Director, ia bertanggung jawab atas terselenggaranya proses casting talent (pemilihan pemeran) untuk iklan televisi. Sebuah produksi iklan televisi memang banyak menggunakan tenaga freelance seperti Derryl, sehingga hampir tidak terlihat perbedaan antara freelancer, orang-orang in house dan tamu.

Kebetulan produksi iklan tersebut membutuhkan talent anak-anak, sehingga ruang tunggu casting pun riuh dengan anak-anak bersama dengan orang tua mereka. Agar casting berjalan dengan tenang dan karena terbatasnya ruang, Derryl melarang orang tua anak-anak tersebut masuk ke ruang casting.

Di tengah kesibukan castingnya, tiba-tiba pintu ruangan dibuka oleh seorang bapak.
“Pak, tunggu di luar aja! Biar anak-anaknya aja yang di dalam..” Derryl spontan berseru.
Tapi pria separuh baya itu tetap memaksa masuk.
“Gimana sih Pak, koq malah masuk! Bapak di luar aja, biar tertib..” seru Derryl kesal.
Orang tersebut justru tersenyum-senyum melihat Derryl yang tengah jengkel. Sementara orang-orang di belakang Derryl justru menyambutnya dengan ramah,
"Mas..!"
Situasi tersebut menciptakan detik-detik penuh badai di kepala Derryl.
Seorang rekan lalu memberitahunya bahwa bapak tersebut adalah Ipang Wahid, pemilik PH itu sekaligus sutradara iklan yang castingnya tengah mereka kerjakan.
"Ups..!" ujar Derryl dengan muka merah.

Wednesday, July 25, 2007

Cacing

Pria itu terlahir dengan nama Irfan. Namun hampir semua orang di komplek rusun kami memanggilnya Cacing. Mungkin karena postur tubuhnya yang kurus, tinggi sekaligus berkulit kelam. Pagi itu, Pak Engku, tetangga kami tampak kebingungan mencari-cari sesuatu. Pak Gaya, petugas kebersihan yang tengah menyapu segera menghampirinya.
"Nyari apa Pak Engku?"
"Saya nyari Cacing."
"Nanti deh kalo ketemu saya kasih tau" ujar Pak Gaya sambil melanjutkan pekerjaannya.
"Makasih ya.." kata Pak Engku sambil berlalu pulang ke rumahnya.
Beberapa saat kemudian, Cacing melintas di tempat tersebut. Pak Gaya pun spontan memberitahu maksud Pak Engku. Meski terheran karena merasa tidak ada hal penting yang harus dibicarakan, Cacing segera bergegas ke rumah Pak Engku. Sesampai di rumah orang tua tersebut, Pak Engku tengah membersihkan sangkar burung miliknya. Dengan mimik yang serius, Cacing segera menghampiri Pak Engku.
"Pak Engku mencari saya ?"
Namun Pak Engku justru terlihat heran dengan kedatangan Cacing.
"Nggak koq.."
"Lho.. Tadi Pak Gaya bilang Pak Engku nyari saya" jelas Cacing yang kebingungan.
Pak Engku seketika mengetahui apa yang tengah terjadi.
"Ooooo.. tadi saya memang nyari cacing, tapi bukan Cacing kamu. Tapi cacing buat makan burung."
"Kamu mau jadi makanan burung saya!"

Sunday, July 15, 2007

Dahak.

Batuk Galih membuat banyak dahak muncul dari tenggorokannya. Frekwensi meludahnya terus meningkat. Hal itu menimbulkan kebiasaan jorok baru dari pria tersebut, meludah di sembarang tempat. Urghhhh….!

Teman-teman tak henti-henti memperingatkannya agar membuang ludah di tempat semestinya. Tapi omelan demi omelan tampaknya hanya masuk ke telinga kanan dan dengan leluasa keluar dari telinga kiri Galih. Ia tetap saja 'cuuhhh' di mana-mana. Lagi-lagi urghhhh….!

Hingga suatu sore, Galih dan teman-teman yang lain berjalan-jalan ke Blok M. Mereka tengah berjalan di trotoar Bulungan ketika Galih merasakan dahak mulai menggumpal di tenggorokannya. Dengan tanpa pikir panjang ia membuang ludah ke samping tubuhnya sambil berjalan. Pada detik yang sama, seorang pejalan kaki yang lain lewat di sebelah Galih. Ludah itu pun kontan mengenai pejalan tersebut. Pasti urghhhh….!

Hasilnya adalah sebuah pemandangan eksotik yang jarang terlihat. Segumpal dahak yang kental seperti gel berwarna kuning kehijauan yang melayang dari mulut Galih bertengger nyaman di tangan seorang laki-laki yang wajahnya tampak terpana, takjub, jengkel dan marah sekaligus menjadi satu. Absolutly urghhhh…!

Dengan rasa bersalah, Galih segera membersihkan lendir tersebut dengan kaosnya sambil bersungut-sungut meminta maaf kepada orang tersebut. Dan hebatnya, orang tersebut tidak marah dan hanya mengelus dada sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia benar-benar telah menjadi orang yang salah, berada di waktu yang salah dan di tempat yang salah. Mimpi apa ya dia malam sebelumnya? Memang urghhhh….!

Saturday, July 14, 2007

Nawang.

Sore itu Nawang, perempuan kecil tetangga kami mendapat omelan dari ibunya. Seperti anak-anak lainnya, ia memang gemar membuat kotor rumah jika bermain, lalu menangis ketika orang tuanya memarahinya. Dengan terisak-isak dan perasaan sebel kepada ibunya, ia berjalan ke lantai dasar rusun tempat orang-orang biasa berkumpul.

Seorang tamu yang kebetulan lewat tampak iba melihat anak kecil yang terisak-isak sambil berjalan.
“Koq nangis? Kamu anak siapa?” tanya tamu tersebut.
Dengan sesenggukan, Nawang menjawab, “Aku bukan anak siapa-siapa?”.